“If you don’t know history, then you don’t know everything. You are a leaf that doesn’t know it is part of a tree”
~ Michael Crichton
Tulisan ini diawali dengan sekelumit pertanyaan dengan kata kunci “sejarah”, ketika itu sedang mengikuti dars shiroh nabawiyah oleh Dr. Fathi Hijazi, seperti biasa beliau membuka kegiatan talaqqi dengan kalimat “Inna fii Rasulullahi uswatun hasanah” sekilas tampak familiar dan sederhana tapi nyatanya tidak sesederhana untuk benar-benar memasuki kehidupan Rasul.
Berselancar di taman kenangan masa lalu adalah satu kenikmatan tersendiri. Tapi siapa sangka ada stereotip yg dibangun di dalamnya. Ketika menguraikan potongan-potongan masa lalu nyatanya justru berujung akhirnya pada perasaan superior sekaligus inferior. Padahal mafhum, premis yang melekat adalah masuk ke ruang masa lalu dan kembali membawa segenggam pelajaran untuk masa depan, namun adakah sesederhana itu?
Dalam membincang “sejarah” atau masa lalu ada semacam liberasi yang sedikit membingungkan. Bahasa sederhananya begini, biasanya kita akan menyinggung masa lalu ketika sedang menceritakan masa sekarang atau masa depan. Untuk korelasi perbandingan atau memberi amunisi positif kepada generasi terakhir, atau hanya sekedar mengenang kejayaan dan rasa sakit. Misal ketika sedang menceritakan tentang masa reformasi tidak akan luput menyinggung masa orba. Hal semacam ini yang akhirnya menelurkan sekelumit pertanyaan, bisakah dikatakan “sejarah” adalah masa depan, jika nyatanya berbicara masa depan alhasil mengungkit kenangan?
Sebelumnya telah disinggung bahwa stereotip superior dan inferior selalu mengiringi ketika asyik membincang sejarah. Ingatkah ketika pasukan muslimin membawa kemenangan di perang badar, sebagai muslim yang mendengar cerita ini tentu merasa bangga, seolah merasakan langsung perjuangan bersama para sahabat. Ada perasaan superior yang muncul ketika menceritakannya. Kebanggaan ini bisa melahirkan aura ke optimis an untuk membuktikan bahwa umat muslim memiliki riwayat kemenangan. Ohh well, Namun jika mengingat tentang The Legend nya pada masa itu seperti Khulafaur Rasyidin yang notebene telah mencetak tinta emas dengan berbagai prestasi untuk Islam, siapa sangka justru membangun perasaan inferioritas.
Mereka kembali ke ruang masa depan dengan membawa ke pesimis an, kenapa? Karena mereka tidak menemukan di masa mereka orang-orang seperti Khulafaur Rasidin, mereka pesimis dengan potensi “masa” mereka sendiri, jika tidak segera diatasi, perasaan pesimis ini akan melahirkan jiwa-jiwa yang skeptis melihat elemen “masa"nya. Serba salah memang berinteraksi dengan masa lalu. Antara kebanggaan yang melenakan dan kekerdilan di batas jeruji kejayaan.
Untuk meramu sejarah menjadi masa depan, ada proses kontemplasi panjang. Rambu-rambu yang paling aman menurut saya adalah mengingat bahwa setiap masa memiliki kejayaan masing-masing, memiliki legend nya sendiri, memiliki rasa sakit sendiri. Ini adalah alternatif solutif untuk menghibur diri dari rasa inferior ketika melihat masa depan. Kita harus sadar bahwa setiap masa memiliki sifat “imperfek” maka kita akan mudah memaafkan segala persoalan zaman. Pada masa pemerintahan Abu Bakar Ra bahkan permasalahan datang secara serentak, munculnya murtadin, orang-orang yang tidak mau membayar zakat hingga seolah-olah pada masa itu khalifah disibukkan dengan penuntasan masalah, pembaruan-pembaruan barulah terjadi ketika masa Umar Ra.
Begitu juga ketika masa Umayyah dan Abasiyah, awal masa Abasiyah penuh dengan tragedi pembersihan sisa-sisa bani Umayyah, barulah ketika masa Abu Ja'far Al Manshur, konsolidasi dan penataan administrasi daulah dimulai.
Karakter “Kompleksitas” juga menjadi karakter sejarah atau masa lalu. Sejarah memiliki komponen pembentuk yang tidak sederhana, ada jiwa-jiwa yang dibentuk dari kerasnya penyiksaan , ada yang dibesarkan namanya oleh komunitas pada masanya. Ada kota yang dibentuk dari kebiadaban manusianya, alhasil semua komponen saling bekerja komplementer. Rasa sakit, kenangan indah, penguasa biadab, potensi alam, dan bermacam-macam tragedi dan lelucon adalah elemen pembentuk "masa lalu”
Meramu “sejarah” bukan sekedar nostalgia semata, tidak dilakukan oleh orang biasa, sebuah verba yang multitafsir, menghibur, mengenang dan membangun. Peramu sejarah mampu mengeluarkan nilai esensial dari peristiwa sejarah, ia ikut merasakan sakit tapi juga menganalisa apa penyebabnya agar pada masanya ia tak lagi merasakan sakit yang sama, Sejarah akan menjadi masa depan jika peramunya mengerti hal-hal substansial yang pantas diambil inheren dengan masanya, bukan malah terjebak dengan kenangan atau mengkerdilkan diri dari masa depan, pada akhirnya jika premis ini dianggap benar maka meramu sejarah bisa menjadi salah satu parameter katalisator.
Selamat bermain di taman kenangan, jangan lupa pulang dengan sekeranjang pelajaran.
Cairo, 9 Juli 2018
Komentar
Posting Komentar