Source Picture : Pinterest
Baru-baru ini saya mengikuti dua buah acara yang menurut saya berkelas untuk diikuti. Narasumber yang sekaliber dan berkualitas tinggi adalah pertimbangan yang saya gunakan sebagai ukuran acara ini berkelas. Salah satu acara tersebut adalah seminar yang mengangkat tema pernikahan dini dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Mengingat semakin naiknya angka pernikahan dibawah umur di Indonesia dan dampak yang ditimbulkan terhadap reproduksi perempuan maka mahasiswi Indonesia di Mesir sangat antusias mengikuti seminar ini.
Saya mengikuti jalannya seminar hingga selesai. Narsum yang notabene spesialisasi dalam bidangnya membuat seminar semakin menarik. Seperti pada umumnya, setelah acara pemaparan dari para narsum, moderator membuka sesi tanya jawab kepada audiensi. Sesi pertama dibuka dengan dua penanya. Salah satu penanya tersebut menanyakan tiga pertanyaan, dan dari tiga pertanyaan tersebut hanya satu pertanyaan yang berhubungan dengan tema. Anehnya satu pertanyaan lagi sama sekali tidak berhubungan dengan spesialisasi si narsum yang seorang dokter. Pertanyaan tersebut adalah bagaimana seorang perempuan yang sudah bercerai dari suaminya di Indonesia bisa mengaktualisasi diri yang notabene kebanyakan justru menjadi TKW. Entah bagaimana saya merasa terganggu dengan pertanyaan tersebut. Narsum pun juga kebingungan memberi jawaban.
Dalam sebuah forum seminar, resmi atau tidak resmi menurut saya adalah sebuah ranah diskusi. Sebut saja diskusi umum. Di dalam sebuah diskusi ada moderator, dialah yang memandu jalannya acara, kemudian ada narasumber atau pembicara dan yang terakhir ada audiensi atau penonton. Biasanya sebelum acara diskusi dimulai, acara dipandu oleh seorang MC namun ketika acara diskusi sudah mulai maka jalannya acara selanjutnya dipegang oleh moderator. Diskusi yang berbentuk seminar biasanya memiliki dua sesi, sesi pemaparan dan sesi tanya jawab. Jika itu diskusi panel biasanya sesi tanya jawab lebih lama dari pemaparan. Mungkin aturan umum tersebut nampaknya sudah banyak dipahami oleh banyak orang terlebih bagi para akademisi. Tapi ada beberapa hal yang perlu dipelajari lagi dalam sebuah diskusi.
Saya menulis di sini soft skill dalam berdiskusi, kenapa? Karena ada aturan umum yang harusnya dipahami langsung oleh seorang audiensi yang mengikuti acara diskusi. Diantaranya adalah aturan-aturan ketika bertanya. Bagaimana memberi pertanyaan kepada narasumber, pertanyaan apa saja yang pantas untuk ditanyakan kepada narasumber, apakah pertanyaan saya benar-benar urgen untuk dijawab narasumber, apakah pertanyaan saya mewakili gambaran atau jawaban umum para audiensi dan publik. Kiranya hal ini harus menjadi pertimbangan seorang penanya dalam forum diskusi. ada dua tipe penanya dalam diskusi, dia yang bertanya hanya untuk showing sehingga biasanya dia tidak mempertimbangkan kualitas pertanyaannya terlebih dahulu dan yang kedua adalah penanya cerdas. Meskipun dia bertanya, tapi pertanyaannya adalah representasi dirinya yang memiliki kapabilitas dan karakter.
Bertanya dalam sebuah forum diskusi berbeda dengan bertanya di dalam kelas. Jika di dalam kelas apapun bisa menjadi objek pertanyaan maka di dalam diskusi tidak. Karena anggota diskusi adalah dua pihak yang memiliki kesamaan latar belakang. Misalnya latar belakang akademisi, entah akademisi kesehatan atau akademisi keagamaan atau yang lainnya. Ketika di dalam kelas kita bisa benar-benar menjadi orang yang terlihat bodoh, it’s okay. Tapi dalam forum diskusi, jangan. Jangan mempublish diri kita benar-benar tidak tahu. Itu hanya akan menjatuhkan karakter kita di depan publik.
Hal ini adalah soft skill yang harus dimiliki seorang akademisi. Sekalipun itu di forum diskusi yang awam bagi kita. Ketika seorang akademisi memasuki diskusi politik misalnya, dia bukan sedang belajar masalah politik tapi dia sedang membaca fenomena dan dinamisasi di dalam dunia politik. Disinilah pentingnya seorang akademisi harus berwawasan luas. Memiliki karakter, pandai membaca sebuah fenomena, pandai mengambil sudut pandang.
Soft skill ini disadari atau tidak akan menjadi standar publik menilai kita. Banyak sekali mahasiswa yang belum benar-benar mengerti norma-norma diskusi ini. Paranoianya, banyak yang menggunakan moment ini untuk showing diri, showing sih ngga masalah tapi showing yang berkualitas bukan malah showing untuk menunjukkan kebodohan diri. Biasanya dalam forum diskusi waktunya terbatas, jika hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak ada urgensinya, mending ngga usah. Masih ada cara lain untuk showing diri yang berkualitas. Ini juga sebagai pengingat diri sendiri, bahwa untuk lebih banyak mendengar, membaca, dan melihat. karena banyak bertanya sebelum membaca adalah kesalahan besar. Jika bertanya untuk mengimprovisasi diri maka bertanyalah apa yang pantas ditanyakan.
Baru-baru ini saya mengikuti dua buah acara yang menurut saya berkelas untuk diikuti. Narasumber yang sekaliber dan berkualitas tinggi adalah pertimbangan yang saya gunakan sebagai ukuran acara ini berkelas. Salah satu acara tersebut adalah seminar yang mengangkat tema pernikahan dini dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Mengingat semakin naiknya angka pernikahan dibawah umur di Indonesia dan dampak yang ditimbulkan terhadap reproduksi perempuan maka mahasiswi Indonesia di Mesir sangat antusias mengikuti seminar ini.
Saya mengikuti jalannya seminar hingga selesai. Narsum yang notabene spesialisasi dalam bidangnya membuat seminar semakin menarik. Seperti pada umumnya, setelah acara pemaparan dari para narsum, moderator membuka sesi tanya jawab kepada audiensi. Sesi pertama dibuka dengan dua penanya. Salah satu penanya tersebut menanyakan tiga pertanyaan, dan dari tiga pertanyaan tersebut hanya satu pertanyaan yang berhubungan dengan tema. Anehnya satu pertanyaan lagi sama sekali tidak berhubungan dengan spesialisasi si narsum yang seorang dokter. Pertanyaan tersebut adalah bagaimana seorang perempuan yang sudah bercerai dari suaminya di Indonesia bisa mengaktualisasi diri yang notabene kebanyakan justru menjadi TKW. Entah bagaimana saya merasa terganggu dengan pertanyaan tersebut. Narsum pun juga kebingungan memberi jawaban.
Dalam sebuah forum seminar, resmi atau tidak resmi menurut saya adalah sebuah ranah diskusi. Sebut saja diskusi umum. Di dalam sebuah diskusi ada moderator, dialah yang memandu jalannya acara, kemudian ada narasumber atau pembicara dan yang terakhir ada audiensi atau penonton. Biasanya sebelum acara diskusi dimulai, acara dipandu oleh seorang MC namun ketika acara diskusi sudah mulai maka jalannya acara selanjutnya dipegang oleh moderator. Diskusi yang berbentuk seminar biasanya memiliki dua sesi, sesi pemaparan dan sesi tanya jawab. Jika itu diskusi panel biasanya sesi tanya jawab lebih lama dari pemaparan. Mungkin aturan umum tersebut nampaknya sudah banyak dipahami oleh banyak orang terlebih bagi para akademisi. Tapi ada beberapa hal yang perlu dipelajari lagi dalam sebuah diskusi.
Saya menulis di sini soft skill dalam berdiskusi, kenapa? Karena ada aturan umum yang harusnya dipahami langsung oleh seorang audiensi yang mengikuti acara diskusi. Diantaranya adalah aturan-aturan ketika bertanya. Bagaimana memberi pertanyaan kepada narasumber, pertanyaan apa saja yang pantas untuk ditanyakan kepada narasumber, apakah pertanyaan saya benar-benar urgen untuk dijawab narasumber, apakah pertanyaan saya mewakili gambaran atau jawaban umum para audiensi dan publik. Kiranya hal ini harus menjadi pertimbangan seorang penanya dalam forum diskusi. ada dua tipe penanya dalam diskusi, dia yang bertanya hanya untuk showing sehingga biasanya dia tidak mempertimbangkan kualitas pertanyaannya terlebih dahulu dan yang kedua adalah penanya cerdas. Meskipun dia bertanya, tapi pertanyaannya adalah representasi dirinya yang memiliki kapabilitas dan karakter.
Bertanya dalam sebuah forum diskusi berbeda dengan bertanya di dalam kelas. Jika di dalam kelas apapun bisa menjadi objek pertanyaan maka di dalam diskusi tidak. Karena anggota diskusi adalah dua pihak yang memiliki kesamaan latar belakang. Misalnya latar belakang akademisi, entah akademisi kesehatan atau akademisi keagamaan atau yang lainnya. Ketika di dalam kelas kita bisa benar-benar menjadi orang yang terlihat bodoh, it’s okay. Tapi dalam forum diskusi, jangan. Jangan mempublish diri kita benar-benar tidak tahu. Itu hanya akan menjatuhkan karakter kita di depan publik.
Hal ini adalah soft skill yang harus dimiliki seorang akademisi. Sekalipun itu di forum diskusi yang awam bagi kita. Ketika seorang akademisi memasuki diskusi politik misalnya, dia bukan sedang belajar masalah politik tapi dia sedang membaca fenomena dan dinamisasi di dalam dunia politik. Disinilah pentingnya seorang akademisi harus berwawasan luas. Memiliki karakter, pandai membaca sebuah fenomena, pandai mengambil sudut pandang.
Soft skill ini disadari atau tidak akan menjadi standar publik menilai kita. Banyak sekali mahasiswa yang belum benar-benar mengerti norma-norma diskusi ini. Paranoianya, banyak yang menggunakan moment ini untuk showing diri, showing sih ngga masalah tapi showing yang berkualitas bukan malah showing untuk menunjukkan kebodohan diri. Biasanya dalam forum diskusi waktunya terbatas, jika hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak ada urgensinya, mending ngga usah. Masih ada cara lain untuk showing diri yang berkualitas. Ini juga sebagai pengingat diri sendiri, bahwa untuk lebih banyak mendengar, membaca, dan melihat. karena banyak bertanya sebelum membaca adalah kesalahan besar. Jika bertanya untuk mengimprovisasi diri maka bertanyalah apa yang pantas ditanyakan.
Komentar
Posting Komentar